Sejarah Kyai Mojo Panglima Perang Diponegoro

Sejarah Kyai Mojo Panglima Perang Diponegoro

Kyai Mojo adalah sosok ulama sekaligus pejuang yang merupakan penasihat dan menjadi salah satu Panglima Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa (Java War), dia bergabung ketika Pangeran berada di Goa Selarong, saat mengungsi dari kejaran Belanda bersama Pengikutnya.

Selain berperan sebagai Panglima perang, Kyai Mojo juga pernah menjadi wakil Pangeran Diponegoro dalam perundingan 29 Agustus 1821 dengan Belanda di daerah Klaten, di dalam perundingan itu beliau dengan tegas mengajukan beberapa tuntutan, namun hasil akhir acara itu tidak ada kesepakatan karena tuntutan tadi dinilai terlalu berat bagi pihak Belanda.

Kyai Mojo dalam beberapa hal kursial sangat diandalkan oleh Pangeran Diponegoro yang paling penting adalah di dalam hal keagamaan. Kyai Mojo selain menjabat sebagai panglima besar pada Perang Jawa dia pun berperan sebagai ulama besar yang membimbing para pengikut atau prajurit Setia Pangeran Diponegoro sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat di dalam Alquran.

Biografi Kyai Mojo


Kyai Mojo lahir di daerah Jawa Tengah di bawah kekuasaan kasunanan Surakarta padahal ibunya adalah bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta. Nama Mojo sendiri adalah nama di suatu desa tempat kelahirannya di Pajang Surakarta.

Bapak Kyai Mojo bernama Iman Abdul ngarip dan ibunya bernama R.A Mursilah. Ayahnya merupakan seorang ulama besar dengan sebutan Kyai Baderan. Sebenarnya kedua orang tua kirim aja merupakan seorang pendakwah.


Ayahnya merupakan keturunan bangsawan dari Keraton Surakarta namun memilih untuk menjadi seorang pendakwah sedangkan ibunya adalah ah Adik Sultan Hamengkubuwono III. Meskipun keturunan bangsawan namun Kyai Mojo sejak lahir hidup dalam lingkungan sederhana berbaur dengan masyarakat kecil.

Hubungan keduanya semakin berat setelah Kyai Mojo menikahi janda dari Pangeran Mangkubumi (Pamanya Diponegoro), meskipun keduanya adalah sepupu namun Diponegoro kerap memanggil Kyai Mojo dengan sapaan paman.

Pendidikan Kyai Mojo


Kyai Mojo sejati sudah diberikan pengetahuan agama oleh ayahnya yang merupakan seorang ulama, kemudian saat dewasa dia melaksanakan ibadah haji dan tempat mungkin berapa saat di Mekkah setelah pulang dari Mekkah Ia pun menjadi penerus ayahnya mengajar di pondok pesantren di desanya nya sehingga mendapatkan banyak murid/pengikut.

Kyai Mojo memiliki cita-cita mulia untuk membangun suatu kesultanan yang menegakkan hukum syariat Islam Beliau juga kerap aktif dalam pemberantasan kegiatan syirik di dalam lingkungan istana, Maklum saja sebab beliau lulusan dari Mekah yang pada saat itu sudah berkembang manhaj salaf atau Wahabi.

Bergabung Dengan Pangeran Diponegoro 


Alasan Kyai Mojo bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah ia dijanjikan kan akan tegaknya kesultanan di Jawa yang berpegang teguh atas dasar hukum syariat Islam. Tergiur dengan janji tersebut beliau bersama para santrinya melakukan jihad dalam rangka mengusir Belanda.

Awal mula bergabungnya Kyai Mojo dengan pasukan Diponegoro yaitu disaat pasukan tersebut berada di daerah Gua Selarong, setelah sebelumnya mereka berhasil dipukul mundur oleh Belanda dari kediaman Pangeran Diponegoro. Selengkapnya Sejarah Singkat Pangeran Diponegoro

Di bawah pimpinan di Mojo pasukan Diponegoro berubah paradigma perlawanan dari sebelumnya dengan level pemberontakan menjadi perang Suci melawan orang-orang kafir musuh Islam, minyak bergabung beliau berhasil merekrut banyak tokoh besar termasuk 88 orang Kyai atau ulama yang terdiri dari 18 penghulu atau khotib , 11 orang syekh, 15 guru ngaji, dan masih banyak lagi.

Berselisih Faham Dengan Pangeran Diponegoro


Ada cerita menarik mengenai hubungan Kyai Mojo dengan Pangeran Diponegoro, meskipun telah lama menjalin hubungan persaudaraan, saling percaya satu sama lain, namun pasti ada suatu saat di mana hubungan tersebut mengalami sedikit keretakan yakni ketika keduanya pernah saling berbeda paham.

Awalnya ketika Pangeran Diponegoro melakukan cara-cara yang menyimpang yang dari syariat islam hanya untuk mendapatkan simpati dari masyarakat guna bertambahnya kekuatan pasukan. Dipenogoro sengaja memakai kepercayaan budaya Jawa melalui konsep juru selamat atau ratu adil dalam kampanyenya.

Salah satu hal yang dilakukan Pangeran Diponegoro dan menurut Kyai Mojo sangat vital adalah ketika dia mengaku mendapatkan mandat suci dari Tuhan atau Wahyu saat ia bersemedi. Bahkan Pangeran Diponegoro mengaku dirinya sebagai Ratu Adil bergelar Sultan Abdul Hamid herucakra sayidin panatagama khalifah Rasulullah. 


Dengan pengakuan tersebut secara otomatis Diponegoro telah menyamakan pengalaman spiritualnya dengan pemberian Wahyu Pertama Nabi Muhammad.  Juga siapkan menyamakan dirinya dengan rasulullah yang sering menyendiri di gua hanya bedanya dia lebih banyak melakukan semedi di gua.

Kepercayaan orang Jawa yang pada saat itu masih kental akan nuansa mistis mempercayai ke lem dari Diponegoro sehingga membuatnya dilayani layaknya seorang raja, hal ini membuat gaya hidup Pangeran Diponegoro menjadi berubah internetnya berpenampilan seperti rakyat biasa Kini lebih sering memakai jubah putih dan atribut kerajaan seperti dipayungi dengan payung emas setiap perjalanannya.

Semua tingkah laku Pangeran Diponegoro di atas tadi membuat sepupunya geram, penilaian kemojo terhadap sepupunya itu dianggap telah keluar dari syariat Islam, Selain itu ia juga menilai Pangeran Diponegoro telah mengingkari janjinya, yang tadinya ingin mendirikan kerajaan Islam di Jawa berubah menjadi Ambisi mendirikan kerajaan besar di tanah Jawa.

Kesel selalu diceramahi sepupunya, Pangeran Diponegoro menyuruh untuk berhenti berperang beliau pun membalasnya dengan melakukan inisiatif mengadakan perundingan dengan Belanda untuk mengakhiri perang selama 3 tahun tersebut.

Pertemuan tersebut terjadi pada tanggal 25 Oktober 1828, saat itu Belanda mengajukan pertanyaan prihal pemberian kekuasaan atau daerah untuk Pangeran Diponegoro dan akan diangkat sebagai raja baru disana, kemudian beliau menjawab, jika itu dipenuhi maka Diponegoro akan menerima dengan senang hati, dan perangpun akan berakhir.

Kyai Mojo Ditangkap Dan Diasingkan


Suatu hari pada tanggal 12 November 1828 didaerah Mlangi, Sleman, tepatnya dekat sungai Bedog, Kyai Mojo beserta para pengikutnya disergap dan ditangkap Belanda, lalu mereka dibuang ke Salatiga.

Yang bikin terharu adalah saat itu beliau meminta kepada Belanda untuk membebaskan pengikutnya, permintaan itu dikabulkan sehingga hanya menyisakan beliau dan orang-orang terdekatnya serta beberapa tokoh yang berpengaruh.

5 hari setelah ditangkap yaitu pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo dan sisa para pengikutnya dibawa ke Batavia, dan diputuskan tempat pengasingannya didaerah Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Tuanku Imam Bonjol juga diasingkan disana, selengkapnya Uraian Tuanku Imam Bonjol

Makam Kyai Mojo


Tempat pengasingannya kini bernama Kampung Jawa di Tondano, Alasan di namakan demikian karena disana terdapat banyak rang Jawa yang merupakan para  pengikut Kyai Mojo, mereka berbaur dan bersosialisasi dengan masyarakat bahkan menikah dengan warga lokal.

Hidup di tanah pengasingan sambil berdakwah menyebarkan agama Islam disana sampai akhir hayatnya, beliau meninggal pada tahun 1833 dan dimakamkan di Perbukitan desa Wulaian, Kec. Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara. Sebelum meninggal Kyai Mojo sempat menulis manuskrip berisi perjalanan kisah hidupnya, dan catatan tersebut masih ada disimpan pihak keluarga.

Demikian Sejarah Kyai Mojo yang bisa kami sampaikan berdasarkan sumber-sumber yang ada, semoga bermanfaat bagi anda yang sedang mencari referensi sejarah atau menambah pengetahuan akan Sejarah Bangsa