Alasan Perlawanan Sultan Agung Hanyakrakusuma

Biografi Sultan Agung-Bentuk Perlawanan Sultan Agung Hanyakrakusuma-Jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma


Sultan Agung dari Mataram bernama atau dengan nama lain Sultan Agung Hadi Prabu Hanyarakusuma dia berasal dari Mataram, lahir di Kutagede pada tahun 1593, dia adalah seorang Sultan Mataram IIII dan sekaligus menjadi senapati ing ngalaga atau Panglima Perang, dia membawa Mataram kemasa keemasannya.


Dia terkenal karena perlawananya Kepada Belanda yang menggempur benteng pertahanan Batavia dan nyaris memenangkan pertempuran, Belanda kerepotan dan bahkan hampir kalah dalam peperangan.


Biografi Sultan Agung


Sultan Agung bernama asli Raden Mas Jatmika atau dikenal pula sebagai Raden Mas Rangsang, ayahnya bernama Hanyarakwati dan ibunya bernama Ratu Mas Hadi Dyah Banawati, ayahnya merupakan raja Mataram ke dua sedangkan ibunya adalah anak dari raja Pajang terakhir.


Ada lagi versi kedua yang mengatakan Sultan Agung adalah anak dari Raden Mas Damar atau Pangeran Purbaya, yang menukarkan bayinya dari sang istri dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati, namun pendapat ini sangat lemah dan perlu pembuktian lebih lanjut dengan kata lain tidak bisa dijadikan rujukan sejarah.


Baca Juga: Latar Belakang Perjanjian Giyanti


Diawal dia memerintah dia bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma, kemudian setelah ia menaklukan Madura ditahun 1624 dia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma atau sunan Agung Hanyakrakusuma.


Kemudian di tahun 1640 dia mengganti lagi gelarnya dengan Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman, kemudian Sultan Murad IV menganugrahkan gelar Sultan pada nya dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram disertai penyerahan mahkota, pataka, bendera dan guci yang berisi air zam-zam, kini guci tersebut masih tersimpan rapib di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri, juru kunci disana menyebutnya Enceh Kyai Mendung.

Sultan Agung tercatat dalam sejarah sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram, kekuasaanya terhitung dari 1613 - 1646 atau lebih dari 3 dekade, kemudian selama kepemimpinannya ia berhasil menguasai Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan sampai Madura.

Kekuasaan Mataram pada saat itu tidak hanya di Jawa tetapi pengaruhnya sampai Kalimantan, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar kecuali Sukadana. Armada laut Mataram memang sangat kuat dan besar namun bukan cuma mereka melainkan ada kerajaan lain yang mampu menandinginya, tetapi pengaruh kerajaan ini bisa dibandingkan dengan Majapahit.

"Sultan Agung adalah raja besar Mataram penakluk kerajaan lain di Indonesia semenjak zaman Majapahit", ujar sejarahwan M.C Ricklefs. satu-satunya kegagalan beliau adalah merebut Batavia dari VOC, dan hanya Banten yang terbebas dari Mataram.

Keturunan Sultan Agung


Sultan Agung memiliki dua istri yang dikenal sebagai  Ratu Kulon dan Ratu Wetan, Ratu Kulon bernama asli Ratu Mas Tinumpak putri dari Panembahan Ratu Sultan Cirebon, sedangkan Ratu Wetan bernama asli Ratu Ayu Batang, putri dari Pangeran Upasanta dari daerah Batang. Dari kedua istri ini beliau memiliki 9 anak diantaranya :

  • Raden Mas Sahwawrat atau Pangeran Temenggung Pajang (putra Ratu Kulon)
  • Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil (putra Ratu Kulon)
  • Pangeran Rangga Kajiwan
  • Raden Bagus Rinangku
  • GRAy. Winongan
  • Pangeran Ngabehi Loring Pasar
  • Raden Mas Sayidin alias Pangeran Harya Mataram (Putra Ratu Wetan)
  • GRAy. Wiramantri
  • Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya


Masa Pemerintahan Sultan Agung


Disini kita bahas sejarah Sultan Mataram ke III ini, secara singkat jelas dan padat.

Banyak yang bertanya tentang pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma?


Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung naik tahta di Kerajaan Mataram saat usianya memasuki 20 tahun, ia menggantikan Sultan Mataram III yakni Pangeran Harya Martapura yang tak lain merupakan sepupunya sendiri, disini kalangan Sejarawan berbeda pendapat, ada yang mengatakan beliau  adalah raja Mataram ke III dan adapula yang mengangapnya sebagai Raja Mataram ke IV.


Baca Juga : Sebab Akibat Terjadinya Perjanjian Salatiga


Perbedaan pendapat tersebut terjadi akibat Pangeran Martapura dinobatkan sebagai raja hanya dalam kurun waktu satu hari, sebab penobatan tersebut terjadi karena untuk sekedar memenuhi janji ayahnya kepada ibundanya yakni Ratu Tulungayu, setelah itu tahta diberikan kepada Sultan Agung, maka banyak yang berpendapat bahwa beliau  adalah Raja Mataram ke empat.


Dimasa Pemerintahan Sultan Agung, Mataram berkembang pesat dari segi ekonomi maupun militer, dan memiliki misi menyatukan seluruh daerah Pulau Jawa dibawah kekuasaan Mataram, niatnya menciptakan Hagemoni di Jawa terbentur dengan keberadaan Belanda dan pusat pertahanannya di Batavia dianggap sebagai sebuah ancaman bagi Mataram.


Alasan perlawanan Sultan Agung Hanyakrakusuma


Perlu diketahui bahwa alasan Sultan Agung melakukan perlawanan adalah sebagai berikut :

  • Ingin Menyatukan seluruh daerah di Pulau Jawa
  • Belanda menghantam perdagangan Mataram di Sunda Kalapa
  • Belanda memonopi perdagangan di sunda Kalapa
  • Posisi Belanda di Batavia dianggap mengancam hagemoni yang sedang dibangun Raja Mataram III
  • Belanda di klaim menjadi penghalang misi Sultan menyatukan Pulau Jawa dibawah kekuasaan Mataram.

Itulah beberapa alasan diantara banyak alasan, lantas bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan?, simak penjelasanya dibawah ini


Bentuk Perlawanan Sultan Agung Hanyakrakusuma


Dimasa priode awal setelah penobatan Sultan Agung, ibukota keraton masih di Kuthagede, namun pada 1614 dibangun istana baru di Karta yang berjarak 5 km barat daya Kuthagede dan mulai ditempati 4 tahun kemudian. Ditahun kedua pemerintahan, seorang Patih Mandaraka meninggal karena usianya yang sudah tua dan digantikan oleh Tumenggung Singaranu.


Bermula dari keinginannya untuk menyatukan seluruh daerah Pulau Jawa dibawah kekuasaan Mataram, namun niatnya tersebut terbentur dengan keberadaan Belanda di Banten dan pusat kekuatan di Batavia yang dianggap sebagai ancaman bagi hagemoni Mataram.


Menurut Sultan Agung, Banten dan Cirebon merupakan daerah Bawahan Demak dan semenjak kedatangan Belanda, daerah itu dikuasai olehnya, atas dasar klaim tersebut membuat Raja Mataram III ini mengirimkan militer untuk mengambil alih Banten, tetapi rencana itu mendapatkan halangan dari keberadaan Belanda di Batavia.


Jika sang Sultan menempatkan pasukanya di Banten maka Batavia akan menjadi ancaman yang nyata karena posisinya berdekatan dengan Banten, dengan alasan tersebut Beliau  merasa lebih tepat jika menyerang Batavia terlebih dahulu.


Jemudian serangan awal yang dilakukan Mataram ke Batavia terjadi pada tahun 1628, namun pada priode awal serangan ini Pasukan Mataram mengalami kekalahan diakibatkan kurangnya pasokan logistik, seperti bahan makanan, dan akhirnya banyak pasukan Mataram yang mati kelaparan.


Baca Juga : Hasil Perlawanan Pangeran Diponegoro

Kemudian satu tahun kemudian setelah persiapan yang cukup matang Sultan Agung kembali menyerang Batavia, priode kedua ini terjadi pada 1629, diawali keberangkatan pasukan yang dipimpin oleh Dipati Ukur dibulan Mei, kemudian dilanjut pengiriman pasukan kedua yang dipimpin oleh Adipati Juminah di bulan Juni.


Untuk mengantisipasi kejadian yang sama saat priode pertama maka sebelum priode kedua ini terjadi Sultan Agung mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon guna mendukung pasokan logistis pasukan Mataram.


Namun ternyata Belanda telah mengirimkan mata-mata sehingga dapat menemukan lokasi lumbung beras tersembunyi tersebut kemudian dimusnahkan, akibatnya pasukan Mataram kekurangan perbekalan dan ditambah penyakit kolera dan malaria sehingga melemahkan kekuatan mereka setibanya di Batavia.


Meskipun gagal menaklukan Batavia namun serangan Sultan Agung pada priode kedua ini berhasik memukul telak Belanda, Strategi yang dipakai adalah membendung aliran sungai Ciliwung dan mengotorinnya, yang mana aliran sungai ini melintasi Benteng Belanda di Batavia.


Akibat ulah dari pasukan Sultan Agung ini, membuat pasukan Belanda yang berada didalam benteng mengalami krisis air bersih dan menimbulkan penyakit kolera yang melanda hampir keseluruh Batavia, bahkan Gubernur Jendral J.P Coen meninggal karena menjadi salah satu korban dari penyakit tersebut.


Sultan Agung Disebut Sebagai Budayawan


Sultan Agung selain menjadi raja Mataram dia juga dikenal sebagai seorang Budayawan karwna dimasannya perkembangan budaya semakin maju, dari gamelan, tarian sakral dan wayang, menjadi berkembang sangat pesat, pernyataan ini didukung catatan Belanda mengenai Raja Mataram III ini.


Namun dari persepsi masyarakat pencapaian beliau  jauh lebih besar dari yang diceritakan, salah satunya adalah pembuatan kalender Jawa yang masih digunakan sampai saat ini, kemudian ada lagi karyanya dibidang sastra yang antara lain berjudul Serat Sastra Gendhing, adapun karya sastra Beliau  adalah sebagai berikut :

  • Pupuh Sinom
  • Pupuh Asmaradana
  • Pupuh Dandanggula
  • Pupuh Durma

Semua karya sastra ini membahas tentang filosofi hubungan sastra dan gendhing, ajaran hubungan kosmis (antara manusia dengan tuhan), dan menyatukan sastra dan bunyi gendhing.


Baca Juga: Biografi Kyai Mojo


Kemudian peran Sultan Agung dalam bidang budaya selanjutnya adalah membentuk bahasa standar di Keraton Mataram, bahasa ini dikenal sebagai bahasa Bagongan, dan digunakan oleh para Bangsawan dan pejabat keraton, dengan tujuan menghilangkan pembatas antara bangsawan dan keluarga raja atau dengan kata lain bertujuan untuk menyatukan seluruh orang istana.


Jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma


Selain jasanya dalam usaha menguris Belanda dari tanah jawa ternyata hingga kini masih ada warisan Sultan Agung dan bahkan dipakai dalam sistem pemerintahan RI, dengan hagemoninya dia melakukan revormasi administrasi dengan membentuk wilayah kabupaten yang dipimpin oleh seorang adipati.


Pembentukan wilayah kabupaten ini dikhususkan untuk beberapa wilayah Mataram di Jawa Barat, seperti halnya Karawang yang dijadikan wilayah Kabupaten, dan bupati/adipati pertamanya yaitu pangeran Kertabumi yang diangkat oleh Sultan Agung pada tahun 1636.

Ketika Belanda mengusai banyak daerah di Nusantara, mereka memakai sistem administrasi warisan Sang Sultan Mataram III ini, dan bahkan setelah Indonesia merdeka sistem ini masih dipakai, hanya bedanya kabupaten menjadi daerah otonomi dibawah pemerintah provinsi.


Wafatnya Sultan Agung


Pada tahun 1642 Sultan Agung jatuh sakit, dan terpaksa urusan pemerintahan digantikan Tumenggung Wiraguna untuk sementara, menurut sejarawan De Graaf, sebelumnya beliau sudah mengetahui akan kematianya.


Menurut Ricklefs dalam rangka menghadapi tibanya ajal pada tahun 1645, beliau membangun sebuah komplek pemakaman baru disebuah puncak bukit di Imogiri, jaraknya 5 Km dari istananya, kemudian komplek pemakaman tersebut kini menjadi komplek pemakaman keluarga.


Masih menurut Ricklefs bahwa sultan Agung meninggal antara bula Februari dan awal April tahun 1646, empat tahun setelah meraja lelanya penyakit Pes atau flu spanyol, saat sang sultan meninggal seluruh pintu gerbang ibu kota ditutup guna mencegah terjadinya kudeta, kemudian tahta dilanjutkan anaknya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I